RSS

Pages

Secangkir Kopi Perasaan



             Namaku Oktaviana Maya .Sejak berseragam putih biru, aku mempunyai hobi minum kopi di setiap aku menginginkannya atau di saat sore hari sedang menggalau. Aku sering dipanggil Nana ataupun Bebek karena sifatku yang cerewet dan periang. Tapi dibalik semua itu aku memiliki masalah yang harus kuhadapi. Mulai dari fisikku sampai hati. And the story has begin...
            “Nanaaaa! Kita diplih sekolah untuk ikut lomba mading di SMA 8 September nanti. Jadi kita harus sudah mengerjakannya besok supaya kalaupun ada yang salah, kita masih punya waktu untuk membenahinya. Ya? Gimana?” kata Jenny cepat seperti tidak bernafas. “Ya ampun, Jen... Kamu kalau ngomong santai aja, nggak usah kayak dikejar Brimob gitu deh. Oke, bisa diatur. Wani piro?”jawabku sambil menahan tawa yang ingin kulepas begitu saja. “Terserah deh, Bek. Kamu itu cerewet sekali tahu nggak? Nggak mau mengerti perasaannya orang. Ihh..Ya udah.Trims!” jawab Jenny kesal. “Iya, iya, boss... Seperti nggak tau aku saja. Aku itu gimana. Hihi.” balasku sambil menggoda Jenny yang sambil berjalan meninggalkanku.
            Keesokan harinya, aku bersama Jenny dan teman se-timku mulai mengerjakan mading itu. Setiap pulang sekolah, kami pasti mengerjakannya. Hingga tibalah saatnya lomba itu diadakan.
            Saat kami tiba di SMA 8, aku melihat seorang kakak OSIS yang berjalan bersama Jenny. Aku tak bisa berhenti menatapnya. Baru kali ini aku menemukan pengganti Venno, teman yang aku sukai sejak awal SMP. Tidak sedikit teman maupun kakak kelas yang mendekatiku, namun tak satupun  yang mempu membuatku tertarik hingga jatuh hati. Lama kelamaan, ia semakin akrab dengan Jenny. Aku merasakan sesuatu yang menusuk hatiku. Sangat dalam dan sangat sakit.
            “Lho, Bek? Kenapa kamu? Sakit?” tanya Benny sambil merangkulku. “ngg.. Nggak kok, Ben. Cuma barusan aku nemukan seseorang pengganti Venno. Baru kali ini pula. Aku bingung kenapa aku bisa naksir sama orang itu, Ben.” jawabku. “Oh, aku pikir kenapa kamu, bek.. Eh, ngomong- ngomong siapa itu orangnya?” tanya Benny lagi. Hening sejenak...
            “Orangnya ada di depan sana sama Jenny. Kakak OSIS yang itu lho. Aku nggak tahu apa sebabnya aku suka orang seperti dia. Tapi, tolong jangan bilang siapapun ya masalah ini. Meskipun kamu itu cowok, tapi kamu itu paling bisa dipercaya dan nggak ribet deh. Tolong ya, Ben...” bisikku pada Benny. “Iya, aku janji sama kamu, bek. Ya, aku tau. Baguslah kamu sudah dapat penggantinya Venno, daripada sakit hati terus sama Venno. Ya kan? Kalau aku lihat sih, kakaknya itu baik dan belum punya pacar deh. Ambil aja tuh.” jawab Benny. “Tapi, Ben, kok kakaknya itu akrab banget sih sama Jenny? Naksir Jenny kali. Atau aku yang cemburu ya?” tanyaku pada Benny sambil sedikit tertawa menghibur diri. “Bebek, kamu itu ya, bukan sebatas suka tahu nggak? Kamu tuh udah jatuh cinta sama kakak itu. Buktinya kamu sampe lemes terus pucat. Gara- gara cemburu pastinya deh. Aku sudah mengira kamu pasti suka sama kakak OSISnya itu. Aku lihat, dari tadi kamu mandangin dia terus.” jawab Benny yang logat Kalimantannya keluar. “Iya sih, Ben. Aku sadar hal itu kok. Ayo deh, Ben. Kita masuk.” kataku sambil menarik tangan Benny masuk ke ruang lomba.
            Saat di ruang lomba, kami duduk di belakang karena mendapatkan nomer urut 5 dari 10 peserta. Kakak itu pun berdiri di depan, namun ia sesekali menoleh kearahku. Membuat aku jadi salah tingkah. Tiba- tiba ia beranjak dari tempatnya dan menuju ke arahku. Seketika itu juga ia menjulurkan tangannya di depan wajahku yang sedang menunduk. “Hai, siapa namamu?” sapanya. “Oktaviana panggil saja Nana.”jawabku singkat. “Aku Diko. Aku OSIS disini. Salam kenal ya.” katanya sambil tersenyum. Kulihat senyumnya rasanya seperti kopi yng baru kubeli dan kuminum kemarin sore. Manis banget!! “Oh, Kak Diko.” jawabku dan aku pun melihat presentasi kelompok lain, tetapi otakku tidak bisa fokus melihat kelompok lain.
            “Ya, peserta selanjutnya, nomer peserta 5 dari SMP Bina Nagari. Dipersilahkan maju...” kata MC ramah. Panggilan itu membuat aku terkejut dan sadar bahwa inilah saatku untuk maju. Kami pun mulai presentasi. Saat sesi tanya-jawab oleh juri, sebuah pertanyaan ditujukan padaku. Akupun menjawabnya, walau itu hanya berdasar kemampuanku saja. Saat kami selesai, kami mendapat standing ovation dari para juri. Kami bangga mendapatkan itu, tetapi kita tak boleh begitu saja sombong, karena belum tentu kamilah pemenangnya.
            Saat aku kembali ke tempat duduk, aku memanggil Benny. “Eh, Ben, lega deh sudah selesai. Aku deg-degan banget waktu jawab pertanyannya itu. Tapi untung aku bisa, Ben.” kataku. “Iya, bek, lega. Tapi tadi kamu jawabnya bagus banget. Aku juga sampai bingung. Kamu bisa presentasi sebagus itu. Keren, gak ada di madingnya situ kan? Baguslah, bek.” jawab Benny tersenyum lega. “Iya tuh, kamu bagus banget pas jawab itu. Aku paling suka pas sesi yang itu.” sahut Kak Diko. “Makasih, kak.” jawabku singkat.
            Tiba-tiba Benny yang ada di sisi kiriku, pindah ke sisi kananku. Kursi kosong disebelahku diisi oleh Kak Diko. Kak Diko duduk disebelahku. Mendekat padaku. Lalu merangkulku dan kami berbincang layaknya sahabat yang sudah lama kenal dan tak bertemu. Kusadari disudut kanan mataku, kulihat Jenny melihat kami dengan wajah marah juga kesal. Lomba itu pun selesai. Saat istirahat dan makan, Kak Diko yang seharusnya menjaga diluar, ia malah duduk kembali di sebelahku. Aku meninggalkannya, takut Jenny semakin marah. Ternyata benar, setelah aku dan Benny serta beberapa teman pergi, Jenny kembali mendekati Kak Diko dan berusaha untuk serba tahu dan berbicara dengan Kak Diko. Aku meninggalkan mereka dan melihat Venno tampil dengan bandnya.
            Pengumuman lomba dimulai... Rasanya dag dig dug tak karuan. MC ulai berkata,“Juara 3 diraih oleh... mading Merdeka dari SMP 1. Juara 2 diraih oleh... Mading dari SMP Bina Nagari!”. Rasanya senang tak karuan. Teman- teman menyuruhku maju ke depan. Rasanya seperti permen nano-nano, campur aduk tak karuan. Saat aku maju, Venno berdiri dan tepuk tangan. Tampak bahwa teman satu bandnya berteriak suit-suit atas kelakuan Venno, aku pun malu. Ternyata Kak Diko yang membantu membawa piala. Ia mengacungkan jempolnya padaku sambil tersenyum. Hal itu membuat aku malu 2 kali lipat. Saat aku turun dapi panggung, Venno tersenyum padaku, namun kualihkan pandanganku kepada teman- temanku.
            Kami pun pulang dengan gembira. Saat di jalan, aku di cegat oleh Kak Diko dan seorang gurunya. “Ada apa ya, bu?”tanyaku kepada guru itu. “Kamu masih ingat saya yang tadi jadi jurimu itu kan? Nah, saya disini ingin mengundang kamu ke acara beasiswa SMA 8 dan pesertanya hanya 5 orang. Besok kamu bisa datang? Saya berharap kamu bisa masuk di sekolah ini.” jawab ibu guru itu. “Hah? Beasiswa, bu? Kenapa saya,bu? Jujur saya juga ingin masuk sekolah ini setelah melihat keadaan sekolah ni. Namun, saya sudah mendaftar dan diterima di SMA Bina Nagari. Semua sudah terlanjur. Maaf sekali, bu...” jawabku dengan sedikit menyesal. “Hei, Na. Tolong kamu masuk disini. Maksud dari beasiswa ini ke kamu ini karena kami suka dengan kamu saat presentasi tadi. Kamu anak yang berbakat. Tolonglah,Na.. Jangan disia-siakan.” jawab Diko memohon kepadaku. “Baiklah, saya pikiran terlebih dahulu. Bu, Kak Diko, saya pamit dulu ya.” jawabku singkat.
            Aku bingung juga dengan kata yang lebih tren yaitu “galau”. Apakah aku harus mengikuti program beasiswa itu? Ataukah harus ke SMA Bina Nagari? Entahlah, kupikirkan saja nanti. Kuhibur diriku dengan menyetel i-pod shuffle kesayanganku, mengenang apa yang terjadi tadi siang, dan membuat secangkir kopi yang terasa manis juga pahit. Juga seperti perasaanku. Manis saat berkenalan dan melihat senyum Kak Diko, pahit saat kulihat Venno baru tersenyum saat aku menang dan tak dari dulu senyum itu mengembang.
            Kudengar lagu yang kusetel acak ini, seakan bernyanyi untukku. Mengerti betapa pahit juga manis perasaanku ini. Lagu milik Princess-Kekasihku yang awalnya aku tak seberapa suka. Namun, kini kuputar berkali-kali
             Kuhayati kata demi kata lagu ini. Sakit karena Venno, senyum karena Kak Diko. Biarkanlah hal ini berlalu dengan hidupku ini... Berlalu dengan hujan di malam hari ini... Tiba- tiba air mataku mengalir begitu saja tanpa seizin dariku. Mamaku masuk ke kamarku dan bertanya dengan lembut, “Ada apa sayang?”. Aku tak menjawab, hanya isak tangisku yang terdengar. Ia menempelkan kepalaku ke pangkuannya dan mengelus kepalaku dengan lembut. “Sayang, apapun masalahmu, mama akan slalu disini untukmu. Mama tahu, mungkin kamu lagi sakit hath karena Venno? Nggak apa, nggak usah dijawab. Mama ngerti perasaan kamu sekarang.” Kata- kata itu, menenangkan hatiku. Dalam hatiku, aku hanya ingin berkata padanya singkat saja. Mama, jangan pergi, aku masih sayang mama, masih butuh mama sebagai penenangku. Love you, mom. Seketika aku tertidur lelap di pangkuan ibuku.
            Keesokan harinya, aku memutuskan untuk tidak datang ke acara itu dan memutuskan untuk tetap di SMA Bina Nagari, karena aku baru mengingat kalau Venno tidak melanjutkan ke Bina Nagari, melainkan ke Singapura. Jadi aku bisa bebas dari keduanya. Jika aku tidak untuk Kak Diko, maka tidaklah juga untuk Venno. Aku tidak akan untuk keduanya. Walau sebenarnya aku masih cinta dengan Kak Diko, tapi aku lebih memilih tidak daripada ujungnya hanya sakit hati lagi.
            Bulan April, bulan itu aku padat akan ujian. Mulai dari ujian praktek, ujian sekolah, sampai Ujian Nasional. Akhirnya saat pengumuman kelulusan, aku luls dengan nilai yang baik.
            Lalu, saat- saat di SMA kumanfaatkan untuk melupakan mereka berdua dengan mengikuti berbagai macam kegiatan, seperti OSIS, PMR, Jurnalistik, ikut instumen sekolah, dll. Aku juga mengikuti lomba- lomba. 3 tahun berlalu. Aku sudah lupa siapa nama orang yang dulu pernah aku sukai. Sama sekali lupa. Tak ingat secuil pun kenangan. Rasanya aku sudah lupa ingatan alias amnesia tentang semua itu.
            Suatu hari, aku akan pergi ke suatu cafe yang juga merupakan toko buku untuk bersantai sejenak setelah ributnya acara ulang tahun sekolahku. Aku berencana mencari buku baru agar bisa kubaca rumah dan memanfaatkan wifi yang ada disana. Saat aku hendak memesan cappucino tanpa campuran apapun di dalamnya, aku melihat seseorang yang postur tubuhnya familiar menurutku. Namun, kuhiraukan hal itu, entahlah siapa dia. Aku tak tahu. Setelah memesan kopi, aku meninggalkan counter tempat memesan kopi dan beranjak untuk mencari buku- buku baru atau yang termasuk Best seller. Namun kurasakan ada seseorang yang sedang membuntutiku, tapi tak kulihat seorangpun di sekitarku. Mungkin hanya perasaanku saja yang terlalu sensitif. Tapi, berulang-ulang seperti itu dan tentu saja membuatku kesal. Akupun kembali ke sofa di depan counter kopi, tapi tiba- tiba ada sepasang tangan yang menyentuh bahuku. Akupun bersiap memukulkan buku yang kubawa ke wajah orang itu. Akhirnya...
            “WHOA!!” akupun menjerit terkejut. “Si-Siapa kamu? Kita kenal?”lanjutku. “Iyalah... masa sih kamu nggak ingat sama aku?” jawab anak itu dengan senyum yang lebar dan menghanyutkanku. “Haa? Kenal? Aku nggak pernah punya temen wajahnya sperti kamu deh.” jawabku singkat. “Lho, nggak usah bercandalah... Masa sih nggak ingat sama aku?” tanyanya lagi padaku. “Iya, sumpah deh. Aku nggak tau. Nggak usah sok kenal deh. Lebih baik kenalan deh kalo nggak kenal.” jawabku sedikit emosi. “Ya udah kalau itu mau kamu. Kamu lagi nyari buku itu? Itu bagus kok ceritanya, aku sudah selesai baca itu.” jawabnya kalem. “Nggak juga sih, maunya nyari novel yang ada hubungannya sama musik gitu.” Akupun mulai melembek sehingga kujawab pelan- pelan. “Sini ikut aku... Kalau itu sih ini bukunya. Kisahnya romance banget dan bagus deh pokoknya.” jelasnya padaku. “Mm.. Ya sudah. Makasih. Boleh minta alamat twitter nya nggak? Buat nanti ngasih tau aku suka sama bukunya atau nggak.”pintaku. “Oke. @knight.”jawabya singkat. “Ayo duduk dulu. Ngobrol dulu yuk.”pintaku lagi. “Nggak deh, aku mau pulang. Masih ada tugas kuliah di rumah. Kalo gitu, aku pamit pulang ya.” jawabnya lalu pergi.
            Aku mulai menikmati kopi yang kuminum sambil kumainkan jari- jariku di laptop kesayanganku. Aku merasakan cappucino ini seperti yang ada di Starbucks Coffee yang biasanya kupesan penuh dengan berbagai campuran caramel atau sirop kopi. Lalu, aku mencoba bertanya pada sang penjaga, “Mbak, ini kopinya kok spertinya banyak campurannya ya? Pakai campuran apa ini? Kan tadi saya bilang cappucino biasa tanpa campuran.”. Lalu, dengan wajah cemas, sang bartender pun menjawab, “Maaf, mbak. Tadi saya beri campuran 3 tetes caramel dan sesendok sirup kopi. Tadi saya disuruh masnya yang tadi itu untuk masukkan itu semua. Saya dipaksa tadi. Oh ya, dik, ini ada pudding coklat buat adik.”. “Wah? Pudding coklat? Bentuk hati pula. Mm, ya sudah deh. Nggak apa-apa mbak. Makasih buat puddingnya.” jawabku sambil kembali ke tempat duduk penuh dengan berbagai pertanyaan. Lalu, setelah semuanya selesai, akupun pulang ke rumah.
            Di rumah, kubuka segel buku itu dan kubaca isinya. Ternyata aku suka isinya. Kubuka twitter dan menuju ke @knight. “Makasih buat saran bukunya ya @knight”. Dia menjawab mentionku dan akhirnya kami saling kirim SMS. Akupun beru mengingat kalau ia adalah Kak Diko yang dulu sempat aku cintai. Memoriku mulai waras.
            Hari demi hari, kami tak pernah melewatkan 1 haripun tidak saling menyapa, entah lewat twitter ataupun SMS. Tiap malam minggu, kami selalu pergi kemana saja kami mau. Sampai pada bulan yang ketiga tepat sejak tanggal itu, Ia mengajakku minum kopi di sebuah kedai kecil. Tampak sebuah krem yang berbentuk hati menghiasi kopiku. Ia pun menyatakan cinta sambil menyodorkan secangkir kopi itu. Dia menyebutnya dengan My Coffee feelings. Tepat saat itu, 3 tahun sudah kami resmi menjalin cinta dan sampai kini kami tetap menjalin cinta yang belum pernah menghadapi persoalan-persoalan. Terima kasih cinta ♥

“Cinta sejati itu nggak akan lari kemana..”
#CintaItuSederhana
AKU + KAMU = SEMPURNA

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright 2009 Christina Tirza's Kingdom. All rights reserved.
Bread Machine Reviews | watch free movies online by Blogger Templates